Every day might not be good, but there is something good in every day. Ini adalah kutipan favoritku. Sederhana namun mengandung sejuta makna yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Kehidupan kita berjalan dari waktu ke waktu. Hari demi hari. Minggu berganti. Bulan berlalu. Dan tahun menciptakan perjalanan yang memiliki kisah tersendiri dalam rangkaian cerita kehidupan.
Begitu pula dengan kisah-kisah si nona guru dalam setiap tahunnya berganti dan berjalan dengan keriuhannya sendiri. Bekerja dengan orang-orang yang selalu berganti. Berbeda rupa. Tak sama laku. Tak juga sama pribadi. Terkadang ingin berhenti dan berlari. Menghilang tak kembali. Di lain hari ingin segara kembali dan menemui pengalaman baru yang tak terganti. Hari-hari itu dijalani dengan sejuta senyuman dan beribu kedongkolan yang mengganjal namun terkadang tak menyesakkan. Menyenangkan mungkin. Mungkin. Karena terkadang sulit aku pahami apa yang terasa di hati.
Selama 4 tahun ini, aku selalu di berikan kelas 7. Anak baru. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan masa merah putihnya dan memasuki dunia biru putih. Tidak bisa dikatakan mudah untuk masuk ke dunia mereka yang sudah belasan tahun lalu aku lewati. Wajah polos. Pertanyaan yang sederhana namun sulit dijawab dengan menggunakan bahasa sederhana yang mampu mereka pahami. Untuk kali pertama masuk rasanya aku memulai kembali saat pertama PPL. Mengulang berbicara dengan sedikit pelan dan belajar untuk sabar yang dituntut dengan tekanan sedikit di kepala. Mereka bukan anak SMA yang disindir akan mengerti dan paham apa maksudnya. Belajar memilih kata yang menegur namun tidak menggurui. Belajar bercanda dengan ketidakmampuan. Belajar menjadi pribadi yang melihat dari sisi yang berlawanan. Sudut pandang yang tidak hanya dari sisi pribadi kita tapi dari segala arah yang memiliki pusat untuk satu pemahaman sederhana yang sama. Memahami kesulitan dengan tidak memaksakan. Sungguh sebuah pelajaran yang mengajariku betapa hidup berdampingan dengan orang banyak dengan perbedaan usia, pengatahuan, lingkungan, keluarga, financial, dan sebagainya yang disatukan dalam satu ruangan dengan segala macam keinginan. Akan membuatmu mengerti bahwa belajar mengerti dan memahami satu pribadi adalah luar biasa sangat sulit. Bisa membayangkan bagaimana keramaian yang harus dibatasi. Sulit memang, namun dengan memberikan aturan sederhana akan membuatnya sedikit lebih teratur dan terarah.
Hal yang paling menyenangkan untukku adalah masa perkenalan. Dimana mereka paling suka menebak umurku dan terkadang mereka bertanya, miss Rie masih kuliah? Umur berapa? Dan jawaban favoritku, miss Rie masih 17 tahun dan wajah polos itu dengan manisnya percaya. Dan kemudian otak pintarnya bekerja, kapan miss sekolahnya kalo sekarang sudah jadi guru? Wkwkwkwkw nona guru yang usil sepertiku pasti dengan senang hati menanggapinya. Miss Rie ini pintar jadi suka loncat kelas,percaya tidak? Atau miss Rie ini awet muda so masih imut begini hahahahaa *jangan muntah ya xixixixixi*. Namun kepolosan-kepolosan ini mampu menghadirkan tawa yang tidak membuatmu berpura-pura menjadi pribadi yang lain. Terkadang sifat menjengkelkanku keluar dengan begitu sombongnya. Aku akan berdiri menghadap kelas dan menyampaikan pemikiranku dengan bahasa yang mampu dicerna oleh mereka ketika mereka melanggar aturan atau melewati batas kesopanan semestinya.
Hal yang paling menyebalkan adalah membicarakan soal kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Terkadang mereka masih membuatnya dengan sembarangan dan tidak bertanggung jawab sepenuhnya dengan apa yang mereka kerjakan. Terkadang mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang mereka bicara. Hal paling tidak aku suka mereka curang dalam mengerjakan tugasnya. Ini menjadi aturan wajib yang aku terapkan di kelasku. Tidak boleh menyontek dalam kasus apapun itu.
Pemahaman adalah hal terpenting dalam pembelajaran yang aku beri jadi aku akan senang melemparkan pertanyaan dan meminta penjelasan mendetail. Tidak bisa dipungkiri terkadang akan terjadi misunderstanding ataupun miscommunication di dalamnya. Contohnya, pada suatu hari di kelas 8, aku melemparkan sebuah pertanyaan dan mendapatkan satu jawaban yang tidak semestinya di berikan pada kepadaku. Namun aku selalu mengajari diriku untuk tidak mengikuti emosi dan egoku sebagai pribadi yang lainnya selain diriku yang kini sebagai guru. Aku selalu mengajari diriku untuk tidak memendam kemarahan dan dendam pada muridku. Jadi aku melemparkan kembali pertanyaan kepada anak ini, karena memang ia tidak memperhatikanku pada saat penjelasan dan jawaban aku dapatkan adalah “terserah kam ja” (terserah kamu saja). Pada saat itu aku terpana mendengar kalimat itu. Aku langsung diam dan menatap tajam kepadanya dan ia dengan wajah tak perduli menatapku seakan-akan ia tidak melakukan kesalahan apapun. Emosiku seakan-akan hendak meloncat dan berteriak.
“Apa kamu bilang? Terserah kam ja? Kamu berbicara sama siapa? Kamu yakin mau terserah miss aja?” tanyaku dan bungkam. Wajah tak perduli itu masih saja tidak perduli. Ia tidak menjawabku. Ia tidak menyangkal ataupun tidak memperbaiki kesalahannya. Aku berharap ia berkata ia tidak berkata padaku. Meskipun aku tahu itu tidak benar at least ia membantah dan mengurangi sedikit kemarahan di benakku. Karena pada saat itu yang berbicara hanya aku dan yang bertanya kepadanya hanya aku dan pandangannya tertuju padaku so bagaimana mungkin ini tidak ditujukan padaku? Namun aku tetap ingin mendengar sebuah penyangkalan.
Aku masih saja tak mampu menahan emosiku dengan baik meskipun aku tidak meledak dan mengeluarkan kata-kata. Aku masih sempat mengurut dadaku dan kebiasaanku berkata-kata pada diriku sendiri pun terlontar di depan dan seorang murid perempuan berkata, sabar miss. Aku memutuskan untuk keluar ruangan sejenak untuk menetralisir rasaku dan mencari udara segar agar otakku bisa bekerja dengan baik. Namun usahaku sia-sia saja. Aku tidak bisa menetralisir rasa marahku dan ini kali pertamanya aku keluar ruangan hanya karena marah dengan satu anak. Satu hal yang paling aku hindari adalah walk out dari ruangan hanya karena satu kesalahan dan memendam dendam setelahnya. Namun kali ini aku tidak bisa. Aku harus keluar sebelum aku menangis di depan puluhan mata itu. Aku berusaha untuk berjalan dengan tenang dan menahan rasaku yang berkecamuk di dada. Aku memasuki kantor dengan tampang yang entah bagaimana. Karena kak Echi berjalan kearahku dan membimbingku ke mejaku. Ia terus saja bertanya ada apa hingga akhirnya tangisku pecah. Ya aku menangis. Satu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya dan anak-anak itu tau betapa marahnya aku. Karena aku pernah mengatakan pada mereka jika miss Rie marah dan masih bisa mengomeli kalian maka kemarahan miss Rie ada pada level yang masih bisa di tolerir tapi jangan membuat miss Rie marah sampai menangis karena it tidak baik-baik saja dan ada pada level yang luar biasa. Dan lucky me, ada yang melihatku menangis di kantor. Hal yang tadinya aku hindari untuk di ketahui. Namun ini yang terjadi dan biarlah terjadi.
Dan pada saat yanng bersamaan kak Echi yang tidak tahu bagaimana membuatku berhenti menangis. Karena emosiku yang membuatku menangis dan tak bisa berkata-kata dan mengatakan apa yang terjadi. Ia pun membuatku tertawa dengan memintaku membayangkan gaya seseorang yang kontan saja membuatku tertawa meski pun airmataku beruraian di pipiku. Ia pun berkata, aku baru ketemu ada orang yang nangis dan dalam sekejap mata langsung tertawa seperti kamu.
Hahahaha aku sendiri memang tidak bisa menahan tawaku dengan episode kehidupanku yang ini. Sungguh menakjubkan pembelajaran yang di beri. Komplesitas rasa yang membuat rasamu kacau dan berbaur dengan pembelajran akan pendewasaan agar bisa menjdi dewasa dalam menghadapi masa yang seperti ini. Bukan permintaan maaf yang terpenting pada masa ini. Yang terpenting adalah pemahaman akan pribadi yang kita hadapi dan pribadi kita sendiri. Dimana kembali lagi kedewasaan dan profesionalitas kita dituntut untuk ditingatkan lagi dan lagi. Tidak hanya mengandalkan ego kita yang mungkin saja terluka dan hendak selalu di perhatikan. Sebuah pembelajaran yang bisa saja membuatmu malu karena kalah dengan ego yang seperti itu. Ego yang selalu ada di tempat tertinggi. Mengajariku untuk meminta maaf kembali dan memperbaiki hubungan yang bisa saja menjadi jurang dan tak terjembatani. Dan aku memilih untuk menjadi bagian yang bisa di sentuh dan di dekati lagi. Aku memilih menjadi bagian yang tidak menjauhkan diri dan menerima kesalahan dengan menjadikannya pengingat dan alarm yang tidak bisa diabaikan.
Terima kasih untuk pembelajaran yang telah di beri. Untuk seorang murid yang mampu membuatku menangis. Salut^__^
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar